menu melayang

Wednesday, April 4, 2012

Lembah Paris

LEMBAH PARIS
Puisi Andi Kata

Paris anak Priam tunduk, mengangguk di lembah sembah.
Mendendangkan simfoni asmara dari balik tungku rusak.
Dongak. Melabuh pasak pedang-pedang berwajah gagak.
Dia ingin mati, tapi tak kunjung mengerti hati. Tak faham
bahasa diri. Apalagi kata-kata tentang negeri.
Paris mengiris cinta seonggok demi seonggok hingga borok.
Rongsok. Di jurusan air sungai tempat Hellen berandai-andai.

Paris anak Priam lelah, menampik warna-warna pasrah.
Seperti Oidypuss pada ibunya. Atau kereta-kereta pengangkut
api dari sudut Kenya. Berpendar untuk pudar.
Bergerak untuk serak. Terhenyak. Runtuh tak tersentuh.
Berharap hari-hari masih menyangganya untuk bisa berdiri.
Menyulam arti bagi Hellen tanpa harus mati.

Paris anak Priam kelu, menembus badai malu.
Diam. Temaram saat beku dan bisu menyerbu. Ragu.
Dari titik teronar jiwa-jiwa kosong melompong. Bohong.
Merongrong kalimat-kalimat hebat dalam sajak tampak.
Resah. Gelisah. Lemah berjalan di antara sinar bulan.
Redup. Gugup. Kuncup. Membuat baris-baris kasih sayang
seolah hilang tak terngiang. Tak terbilang. Gersang!

Paris anak Priam rebah di lembah sembah.
Kepalnya meninju angan-angan sembarangan. Jangan!
Jangan maki Paris anak Priam kala malam.
Lembah Paris belum habis. Belum tipis kendati miris.

Jakarta, 3 April 2012

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel

Arsip Blog